Peringatan dari Melakukan Bid'ah pada Nisfu Sya'ban Ikutilah Salaf Soleh Sebagai Teladan. Kepada ikhwah tertentu, benar bahawa wujud golongan yang mewar-warkan seruan kembali kepada Al-Qur'an dan sunnah namun tidak lebih hanya sekadar cakap... Ianya sebenarnya tertuju kepada mereka yang masih melekat amalannya kepada bid'ah dan kepalsuan serta kejahilan yang berselindung disebalik tok-tok guru , habib dan kumpulan mereka.
Allah swt telah berfirman: “Pada hari ini telah Kusempurnakan agamamu dan telah Kucukupkan nikmatKu dan telah Kuredhai Islam itu sebagai agama bagimu” (Al-Maidah: 3).
Nabi sallallahu ‘alahi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah, dan sebaik-baik jalan hidup adalah jalan hidup Muhammad, dan seburuk-buruk perkara (dalam agama) ialah yang diada-adakan (bid’ah), dan setiap bid’ah itu sesat” (Hadith Sahih riwayat Muslim).
Sekalipun telah jelas firman Allah bahawa agama ini sudah sempurna dan tidak perlu kepada tokok tambah dan amalan baru namun kerana ianya dari tok-tok guru dari para habib dan tokoh yang dihormati maka amalan baru ini terpaksa diterima dan akhirnya tetap di amalkan.
Ikhwah Sekalian
Telah sempurna Islam ini dari penambahan dan tidak sampai kepada kita riwayat yang sahih bahawa wujud amalan nisfu sya'ban seperti yang dilakukan oleh orang-orang hari ini sekaligus cukup kita simpulkan ianya palsu dan di ada-adakan kerana jika sahih dilakukan oleh para salaf soleh pasti telah sampai riwayatnya kepada kita.
Tentang masalah nishfu Sya’ban Ibn Rajab dalam kitabnya Latha’iful Ma’arif mengatakan: “Para tabi’in dari ahli Syam (sekarang Syiria. red) seperti Kholid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin Amir dan lainnya.
Pernah mengagung-agungkan dan berijtihad melakukan ibadah pada malam nishfu Sya’ban, kemudian orang-orang berikutnya mengambil keutamaan dan pengagungan itu dari mereka. Dikatakan pula, bahwa mereka melakukan perbuatan demikian kerana adanya cerita-cerita isra’illyat. Tatkala masalah ini menyebar ke berbagai negeri, berselisihlah kaum muslimin, ada yang menerima dan menyetujuinya, ada juga yang mengingkarinya.
Golongan yang menerima adalah para ahli ibadah dari Bashrah dan kota lainnya. Sedangkan golongan yang mengingkarinya iaitu sebagian besar ulama’ hijaz, seperti Atha’ Ibn Abi Malaikah dan –menurut penukilan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam- para fuqoha’ (ahli fiqih) Madinah, in juga merupakan pendapat para pengikut Imam Malik dan lainnya. Menurut mereka, semua perbuatan ini adalah bid’ah.
Ibn Rajab selajutnya berkata, tidak ada suatu ketetapan apapun tentang masalah nisfu Sya’ban ini baik dari rasul sallallahu ‘alahi wa sallam mahupun dari para sahabat.
Adapun pendapat imam Al-Auza’i tentang (dianjurkan) sholat malam nishfu Sya’ban, maka hal ini aneh dan lemah. Karena segala perbuatan, bila tidak ada dalil syar’i yang menetapkannya, maka tidak boleh bagi seorang muslim mengada-adakannya, baik itu dikerjakan secara individu maupun kolektif (berjama’ah), secara sembunyi mahupun terang-terangan. Berdasarkan keumuman hadits Nabi sallallahu ‘alahi wa sallam: “Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka (perbuatan) itu tertolak.” (Hadith Sahih riwayat Muslim) serta dalil-dalil lainnya yang mengingkari perbuatan bid’ah dan memperingatkan agar dijauhi.
Imam Abu Bakar Ath-Thurthusyi rahimahullah dalam kitabnya Al-Hawadits wal Bida’ mengatakan: “Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah dari Zaid bin Aslam, katanya: “Kami tidak menjumpai seorangpun dari guru kamu dan ahli fiqih kami yang memperingati malam Nishfu Sya’ban, ataupun mengindahkan hadits Makhul"
Merekapun tidak memandang adanya keutamaan pada tersebut dari malam-malam lainnya. Dikatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah bahwa Zaid An-Numairi menyatakan: “Pahala yang didapat (dari ibadah) pada malam nishfu Sya’ban menyamai pahala Lailatul Qadar.”
Beliau serta menjawab: “Seandainya saya mendengarnya sedang ditangan saya ada tongkat, pasti saya pukul dianya kerana Ziad adalah seorang pendongeng.”
Al-Allamah Asy-Syaukani rahimahullah dalam kitabnya Al-Fawaid Al-Majmu’ah berkata. Hadits “Wahai Ali siapa yang melakukan shalat pada malam nishfu Sya’ban sebanyak seratus rakaat, pada setiap rakaat ia membaca Al-Faatihah dan Qu huwallahu ahad sebanyak sepuluh kali, pada Allah memenuhi segala hajatnya…dst.”
Hadits ini adalah Maudhu.
Lafadznya yang menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya tidak diragukan lagi kelemahannya bagi orang yang berakal.
Sanadnya pun Majhul (tidak dikenal). Telah diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, tetapi semuanya Maudhu, dan para periwayatnya adalah orang-orang yang tidak dikenal.”
Dalam Kitab Al-Mukhtashar, Asy-Syaukani menyatakan: “Hadits yang menerangkan Solat nishfu Sya’ban adalah bathil. Sedangkan hadits: “Jika datang malam nishfu Sya’ban maka solatlah pada malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya” yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Ali adalah Dha’if.”
Dalam Kitab Al-La’ali dinyatakan, hadits: “Seratus rakaat pada malam nishfu Sya’ban dengan ikhlas pahalanya sepuluh kali ganda”, yang diriwayatkan oleh Ad-Dailami adalah Maudhu dan mayoritas periwayatnya pada ketiga jalan hadits ini adalah orang-orang yang majhul dan dha’if.
Kata Imam Syaukani: “Hadits yang menerangkan, dua belas rakaat dengan ikhlas pahalanya tiga puluh kali ganda dan hadits empat belas rakaat dan lain-lain, adalah Maudhu.”
Diantara para Fuqaha (alhi fiqh) ada yang tertipu dengan hadits-hadits diatas, seperti pengarang Ihya ‘Ulumuddin dan lainnya, juga sebagian ahli tafsir.
Al-Hafidz Al-Iraqi menyatakan: “Hadits yang menerangkan tentang shalat nisfu Sya’ban adalah Maudhu dan pendustaan atas diri Rasullullah sallallahu ‘alahi wa sallam.
Dalam Kitab Al-Majmu’, Imam An-Nawawi menyatakan: “Solat yang dikenal dengan shalat Raghaib yang berjumlah dua belas rakaat dan dikerjakan antara maghrib dan isya pada malam jumat pertama bulan Rajab, serta solat malam nishfu sya’ban yang berjumlah seratus rakaat adalah bid’ah yang mungkar, tidak boleh seseorang terperdaya oleh karena kedua shalat itu disebut dalam Kitab Qutul Qulub dan Ihya Ulumuddin, atau karena berdasarkan hadits yang disebutkan pada kedua kitab tersebut, sebab semuanya adalah bathil.
Tidak boleh seseorang terperdaya oleh kesilapan sebagian tokoh, yang belum jelas baginya hukum kedua shalat ini, lalu mengarang dalam beberapa lembar kertas untuk menganjurkannya. Ini adalah tindakan menipu.”
Masih banyak ucapan para ulama dalam hal ini. Kalau kita mahu menukil semua tentu akan panjang sekali. Semoga apa yang kami sebutkan diatas cukup memuaskan bagi pencari kebenaran.
Dari beberapa ayat Al-Qur’an, hadits dan pernyataan para ulama diatas, jelaslah bagi pencari kebenaran bahwa peringatan malam nisfu Sya’ban dengan shalat atau amalan lainnya, serta pengkhususan siang harinya dengan puasa itu semua adalah bid’ah yang mungkar menurut jumhur ulama, tidak ada dasar sandarannya dalam syari’at Islam, bahkan merupakan perbuatan yang diada-adakan, cukuplah bagi pencari kebenaran dalam masalah ini, juga masalah lainnya firman Allah: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu…” (Al-Maidah: 3)
Andaikata malam nisfu Sya’ban dikhususkan dengan acara atau ibadah tertentu, pastilah Nabi sallallahu ‘alahi wa sallam memberikan petunjuk pada umatnya, atau beliau sendiri yang mengerjakannya.
Dan jika hal itu memang pernah terjadi, niscara telah disampaikan oleh para sahabat kepada kita, mereka tidak akan menyembunyikannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia yang paling tulus setelah para nabi.
Maka jelaslah, meperingati malam nisfu Sya’ban adalah bid’ah.Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya kepada kita dan kaum muslimin untuk berpegang teguh kepada sunnah dan menjauhi bid'ah.
1 comment:
"Dan jika hal itu memang pernah terjadi, niscaya telah disampaikan oleh para sahabat kepada kita, mereka tidak akan menyembunyikannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia yang paling tulus setelah para nabi."
saya yakin anda akan lebih percaya kepada ucapan sahabat2 Rasul dibandingkan keluarga Rasul
Post a Comment