Membersihkan Diri daripada Syirik
Apa yang dikandung oleh Laa ilaaha illallaah sebagaimana apa yang dijelaskan oleh Syeikhul Islam Muhammad Ibnu Abdul Wahab rahimahullah iaitu menafikan atau menidakkan empat hal, maksudnya orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah, dikatakan memegang Laa ilaaha illallaah dan dikatakan muslim-mukmin adalah apabila dia meninggalkan atau menjauhi, atau berlepas diri daripada empat perkara, iaitu:
1. Alihah (Sembahan-sembahan)
2. Arbab (penghukum dan pengatur)
3. Andad (tandingan-tandingan serta sekutu)
4. Thaghut (yang melampaui batas)
Jadi kalimah syahadah dan ucapan Laa ilaaha illallaah menuntut kita untuk berlepas diri, menjauhi, meninggalkan empat hal tadi dan kita akan membahas satu demi satu dari keempat hal tersebut.
1. Alihah (Tuhan-tuhan sembahan)
Alihah adalah jamak daripada ilah, yang ertinya tuhan. Jadi kalimah Laa ilaaha illallaah ketika kita mengucapkannya: tidak ada ilah, bermaksud tidak ada tuhan yang diibadahi kecuali Allah, bererti menuntut dari kita untuk meninggalkan ilah-ilah selain Allah (tuhan-tuhan selain Allah) dan yang penting bagi kita di sini adalah memahami apa makna ilah. Kerana kalau kita melihat realiti orang yang melakukan kemusyrikan pada zaman sekarang, mereka tidak menamakan apa yang mereka ibadahi selain Allah itu sebagai ilah (sebagai tuhan) akan tetapi dengan nama-nama yang lain. Kalau kita memahami makna ilah, maka kita akan mengetahui bahawa apa yang dilakukan oleh si fulan atau masyarakat fulani itu adalah mempertuhankan selain Allah.
Ilah, definisinya adalah: Apa yang engkau tuju dengan sesuatu hal dalam rangka mencari manfaat atau menolak bala (bencana).
Kalimat “dengan sesuatu hal” adalah suatu tindakan atau suatu perbuatan.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan tentang orang-orang kafir Arab, kerana di antara kebiasaan mereka adalah menjadikan Latta sebagai perantara, mereka memohon kepada Latta ~yang dahulunya orang soleh~ untuk menyampaikan permohonan mereka kepada Allah. Ketika mereka diajak untuk mengatakan dan komitmen dengan tuntutan Kalimah Laa ilaaha illallaah maka mereka menolaknya, Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: “Apakah Sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami Kerana seorang penyair gila?” (As Shaaffaat : 35-36)
Dalam ayat ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam digelar “penyair gila”, padahal sebelumnya mereka menyebut namanya dengan “Al Amin” (iaitu orang jujur lagi terpercaya), mereka memahami bahawa apabila berkomitmen dengan kalimah Laa ilaaha illallaah maka kesannya adalah mereka perlu meninggalkan ilah-ilah tadi (batu-batu keramat, pohon-pohon keramat, kuburan keramat, dan sebagainya), sedangkan mereka itu tidak mahu meninggalkan kebiasaan-kebiasaan tersebut.
Juga ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menawarkan kepada mereka… beliau mengatakan: “Mahukah kalian berikan kepada saya satu kalimat yang dengannya kalian akan mampu mendudukkan orang-orang Arab dan ‘Ajam?”, Abu Jahl mengatakan: “Senang sekali, saya akan memberikannya… bahkan 10 kali ganda dari kalimat yang kamu minta itu”, kemudian Rasulullah mengatakan: “Katakan; Laa ilaaha illallaah”. Lalu mereka pun bangkit dan pergi sambil mengatakan: “Apakah kami harus menjadikan ilah-ilah itu hanya menjadi satu saja?, ini adalah sesuatu yang sangat menghairankan!!” [sebagiannya diriwayatkan oleh At Tirmidzi dan Al Hakim]
Mereka (kaum musyrik Quraisy) adalah orang Arab asli, mereka sangat faham kandungan Laa ilaaha illallaah, dan mereka tak perlu diajari ertinya, tidak seperti kita. Mereka faham bahawa di antara maknanya adalah sesungguhnya mereka harus meninggalkan alihah selain Allah, sehingga karena hal itulah mereka menolak. Jadi, mereka enggan meninggalkannya, berbeza dengan orang sekarang ; mengucapkan mahu… bahkan ratusan kali, ribuan kali akan tetapi perbuatannya bertentangan dengan kandungan Laa ilaaha illallaah.
Ini adalah yang pertama, alihah: sesuatu yang engkau tuju dengan suatu hal dalam rangka tolak bala atau meminta manfaat. Mudah-mudahan yang pertama ini jelas…
2. Arbab
Laa ilaaha illallaah menuntut kita untuk meninggalkan arbab, berlepas diri dari arbab. Apakah arbab…?? Ia adalah bentuk jamak dari Rabb, yang ertinya tuhan pengatur atau yang mengatur, bererti kalau kata-kata “atur” maka berhubungan dengan aturan, seperti hukum/undang-undang. Jadi Rabb adalah tuhan yang mengatur, yang menentukan hukum.
Kita sebagai makhluq Allah, Dia telah memberikan sarana kehidupan kepada kita, maka konsekuensi sebagai makhluk yang diciptakan Allah adalah beriman bahawa yang berhak menentukan aturan… hanyalah Allah. Jadi Allah disebut Rabbul ‘aalamiin karena Allah yang mengatur alam ini baik secara kauniy (hukum alam) maupun secara syar’iy (syari’at). Sedangkan jika ada orang yang mengaku atau mengaku bahawa dia berhak mengatur, bererti dia memposisikan dirinya sebagai rabb.
Apakah rabb itu…? Syeikh Muhammad Ibnu Abdul Wahab rahimahullah mendefinisikan rabb itu adalah: “Yang memberikan fatwa kepada engkau dengan fatwa yang menyelisihi kebenaran, dan kamu mengikutinya serta membenarkan”.
Ketika orang mengikuti apa yang bertentangan dengan hukum Allah, maka dia disebut mempertuhankan, sedangkan yang diikutinya yang mana ia mengetahui bahawa hal itu pembuat aturan, maka dia memposisikan dirinya sebagai Rabb. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At Taubah : 31)
Pada ayat ini Allah menghukum orang Nasara dengan lima hukuman :
1. Orang-orang Nasara tersebut telah mempertuhankan para alim ulama dan pendeta mereka
2. Mereka telah beribadah kepada selain Allah
3. Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
4. Mereka musyrik
5. Alim ulama dan pendeta mereka telah memposisikan dirinya sebagai arbab… sebagai Tuhan
Ketika ayat ini dibacakan di hadapan shahabat ‘Adiy Ibnu Hatim (asalnya beliau ini Nasrani), sedang beliau datang kepada Rasul dalam keadaan masih Nasrani. Ketika mendengar ayat ini dengan hukum-hukum di atas, maka ‘Adiy Ibnu Hatim mengatakan: “Kami (maksudnya: dia dan orang-orang Nasrani) tidak pernah solat, sujud kepada alim ulama kami, atau kepada pendeta kami, lalu kenapa Allah memutuskan kami musyrik, kami melanggar Laa ilaaha illallaah…” tanda kehairanan. Jadi yang ada dalam benak pikiran ‘Adiy Ibnu Hatim bahawa yang dinamakan kemusyrikan itu adalah solat, sujud atau memohon kepada selain Allah. Sehingga mereka tidak mengetahui bahawa yang mereka lakukan selama ini adalah salah satu bentukkemusyrikan, mereka hairan…
Sebenarnya apa kemusyrikan yang dilakukan dan bagaimana bentuknya sehingga kami disebut telah mentuhankan alim ulama? Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Bukankah alim ulama dan pendeta kalian itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan lalu kalian ikut-ikutan menghalalkannya? bukankah mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan kemudian kalian juga mengharamkannya?”, lalu ‘Adiy berkata: “Ya!”, maka Rasul berkata: “Itulah bentuk peribadatan (orang Nasrani) terhadap mereka”.
Dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (Al An’am : 121)
Ayat ini berkenaan dengan masalah bangkai, dan kita mengetahui bahwa bangkai adalah haram. Dalam ajaran orang-orang kafir Quraisy bangkai adalah sembelihan Allah, dan dalam hadith Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan Al Hakim dengan sanad yang sahih: “Orang-orang Quraisy datang kepada Rasul: “Hai Muhammad, kambing mati siapa yang membunuhnya?”, beliau berkata: “Allah yang mematikannya”, lalu mereka berkata: “Kambing yang kalian sembelih kalian katakan halal, sedangkan kambing yang disembelih Allah dengan Tangan-Nya yang mulia dengan pisau dari emas (maksudnya bangkai), kalian katakan haram, bererti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah”.
Ucapan ini adalah bisikan atau wahyu syaitan kepada mereka dan ketahuilah: “Jika kalian mentaati mereka (ikut setuju dengan hukum dan aturan mereka yang bertentangan dengan hukum dan aturan Allah), maka kalian ini orang-orang musyrik”.
Dalam hal ini ketika orang mengikuti hukum yang bertentangan dengan aturan hukum Allah disebut musyrik, padahal hanya dalam satu hal saja, iaitu penghalalan bangkai. Sedangkan orang yang membuat hukumnya disebut syaitan, dan hukum tersebut pada dasarnya adalah wahyu syaitan atau bisikan syaitan, kemudian dijatuhkan oleh wali-wali syaitan dari kalangan manusia, dan orang yang mengikuti hukum-hukum tersebut disebut sebagai orang musyrik…!
Agar lebih kuat lagi, mari kita lihat firman Allah:
“…Menentukan hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Yusuf : 40)
Dalam ayat ini, Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa hak menentukan hukum itu hanyalah milik Allah, hak membuat hukum, aturan, undang-undang hanyalah milik Allah. Dan Allah memerintahkan agar tidak menyandarkan hukum kecuali kepada Allah.
Dalam ayat ini penyandaran hukum disebut ibadah. Jika disandarkannya kepada Allah bererti ibadah kepada Allah, sedangkan jika disandarkan kepada selain Allah bererti ibadah kepada selain Allah, itulah deen yang lurus… ajaran yang lurus, akan tetapi majoriti manusia tidak mengetahui.
Jadi Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahawa hak menetapkan hukum, aturan, undang-undang hanya di Tangan Allah, ketika dipalingkan kepada selain Allah maka itu ertinya memalingkan ibadah kepada selain Allah, dengan kata lain adalah syirik dan orangnya disebut musyrik.
Maka dari itu tidaklah aneh, ketika hal itu dipalingkan kepada alim ulama dan pendeta disebut musyrik, ibadah kepada selain Allah, mempertuhankan alim ulama. Jadi, dalam satu hal saja orang yang mengikutinya itu disebut musyrik.
“…dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (Al An’am : 121)
“Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Yusuf : 39-40)
Ayat “Tuhan-tuhan yang bermacam itu…” maksudnya adalah tuhan-tuhan pengatur atau pembuat hukum yang beraneka ragam, yang banyak dari berbagai golongan, perantara,
Syeikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah ketika menjelaskan surat Al An’am: 121 dan At Taubah: 31, mengatakan: “Sesungguhnya setiap orang yang mengikuti aturan, hukum, dan undang-undang yang menyelisihi apa yang Allah syari’atkan melalui lisan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka dia musyrik terhadap Allah, kafir lagi menjadikan yang diikutinya itu sebagai Rabb (Tuhan)”. [Al Hakimiyyah: 56]
Jadi, kesimpulannya bahawa arbab adalah orang yang mengaku bahawa dirinya berhak membuat hukum/aturan/undang-undang, dengan kata lain arbab adalah orang-orang yang mempertuhankan diri, sedangkan orang yang mengikuti hukum buatan para arbab itu disebut dengan orang musyrik, dan peribadatan kepada arbab ini adalah bukan dengan solat, sujud, do’a, nadzar atau istighatsah, akan tetapi dengan mengikuti, mentaati, dan wala terhadapnya. Sehingga pada saat Fir’aun mencela Nabi Musa dan Harun, dia mengatakan:
“Dan mereka berkata: “Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang beribadah kepada kita?” (Al Mukminun : 47)
Maksud “beribadah” di atas adalah ketaatan, oleh karena itu ketaatan kepada Fir’aun disebut beribadah kepada Fir’aun. Dan begitu juga orang sekarang yang taat kepada hukum buatan para arbab, maka disebut orang yang beribadah kepada arbab tersebut
Ini adalah penjelasan tentang arbab yang mana ini adalah bahagian ke dua yang harus dinafikan oleh Laa ilaaha illallaah.
3. Andad (Tandingan-tandingan)
Andad adalah jamak dari kata nidd, yang ertinya tandingan, maksudnya adalah tandingan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Allah memerintahkan agar kita hanya menghadapkan dan menjadikan-Nya sebagai tujuan satu-satunya. Tidak boleh seseorang mendahulukan yang lain terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Allah berfirman tentang nidd ini atau tentang andad ini:
“…Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah sedang kamu mengetahui”. (Al Baqarah : 22)
Andad itu apa…?
Andad adalah sesuatu yang memalingkan kamu dari Al Islam, atau sesuatu yang memalingkan kamu dari Tauhid, baik ianya anak, isteri, jawatan, harta, atau apa sahaja yang mana jika hal itu memalingkan seseorang dari Tauhid atau memalingkan seseorang dari Al Islam atau menjerumuskan seseorang kepada kekafiran atau ke dalam kemusyrikan, maka sesuatu hal itu sudah menjadi andad.
Jadi sesuatu yang memalingkan kamu dari Al Islam atau Tauhid baik ianya anak, isteri, suami, posisi jawatan, harta benda, dan sebagainya, kalau hal tersebut justeru mamalingkan seseorang dari tauhid, bererti sesuatu itu telah dijadikan andad… tandingan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Jadi andad adalah sesuatu yang memalingkan seseorang dari Tauhid… dari Islam, baik itu berupa jawatan, harta, atau keluarga. Umpamanya, seorang ayah yang sangat sayang kepada anaknya, sedang si anak tersebut dalam keadaan sakit, lalu ada orang yang menyarankan kepada si ayah tersebut agar si anak yang sakit itu dibawa ke dukun. Disebabkan kasih sayangnya kepada si anak tersebut akhirnya si ayah datang ke dukun dan mengikuti apa yang disarankan oleh si dukun tersebut. Maka dengan demikian si anak tersebut telah memalingkan si ayah tadi dari Tauhid, dan bererti si anak telah menjadi andad. Sedangkan Allah berfirman:
“…Kerana itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah sedang kamu mengetahui”. (Al Baqarah : 22)
Ini semua adalah tentang andad, dan singkatnya adalah segala sesuatu yang memalingkan seseorang dari Tauhid dan Al Islam disebut andad.
4. Thaghut.
Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya kewajiban pertama yang Allah fardhukan atas anak Adam adalah kufur terhadap thaghut dan iman kepada Alah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana yang Dia firmankan:
“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat itu seorang rasul (mereka mengatakan kepada kaumnya): Ibadahlah kepada Allah dan jauhi thaghut…” (An Nahl : 36)
Perintah kufur terhadap thaghut dan iman kepada Allah adalah inti dari ajaran semua Rasul dan pokok dari Islam. Dua hal ini adalah landasan utama diterimanya amal soleh, dan keduanyalah yang menentukan status seseorang apakah dia itu muslim atau musyrik, Allah Ta’ala berfirman:
“Siapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia itu telah berpegang teguh kepada buhul tali yang sangat kukuh (laa ilaaha ilallaah)” (Al Baqarah : 256)
Bila seseorang beribadah solat, zakat, puasa, haji dan sebagainya, akan tetapi dia tidak kufur terhadap thaghut, maka dia itu bukan muslim dan amal ibadahnya tidak diterima.
Adapun tata cara kufur kepada thaghut adalah sebagaimana yang dikhabarkan oleh Syeikhul Islam Muhammad Ibnu Abdul Wahab rahimahullah:
1. Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah,
2. Engkau meninggalkannya,
3. Engkau membencinya,
4. Engkau mengkafirkan pelakunya,
5. Dan engkau memusuhi para pelakunya.
Ini sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya tatkala mereka mengatakan kepada kaumnya: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja…” (QS. Al Mumtahanah [60]: 4)
Adapun kesimpulannya adalah sebagai berikut:
1. Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah.
Ibadah adalah hak khusus Allah, maka ketika dipalingkan kepada selain Allah, itu adalah syirik lagi bathil. Do’a adalah ibadah sebagaimana firman-Nya Ta’ala:
“Berdo’alah kepadaKu, tentu akan Kukabulkan permohonan kalian, sesungguhnya orang-orang yang menolak beribadah kepadaKu, maka mereka akan masuk nereka Jahanam dalam keadaan hina” (QS. Al Mukmin [40]: 60)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam besabda: “Do’a itu adalah ibadah” Memohon kepada orang-orang yang sudah mati adalah di antara bentuk pemalingan ibadah do’a kepada selain Allah, dan itu harus diyakini bathil, sedang orang yang meyakini bahawa memohon kepada orang atau wali yang sudah mati adalah sebagai bentuk pengagungan terhadap wali tersebut maka dia belum kufur terhadap thaghut.
Sembelihan adalah ibadah, bila dipalingkan kepada selain Allah maka hal tersebut adalah syirik lagi bathil, Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah, Sesungguhnya solatku, sembelihanku, hidup dan matiku adalah bagi Allah Rabbul ‘alamin, tiada satu sekutupun bagiNya” (Al An’am : 162-163)
Allah berfirman tentang syiriknya orang-orang Arab dahulu:
“Dan mereka menjadikan bagi Allah satu bahagian dari apa yang telah Allah ciptakan berupa tanaman dan binatang ternak. Mereka mengatakan sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini bagi Allah dan ini bagi berhala-berhala kami…” (Al An’am : 136)
Kita mengetahui dalam ajaran Islam bahawa sembelihan yang tidak memakai nama Allah adalah bangkai dan itu haram, sedangkan dalam ajaran kaum musyrikin adalah halal. Syaitan membisikkan kepada wali-walinya, “Hai Muhammad, ada kambing mati di pagi hari, siapakah yang membunuhnya?” maka Rasulullah menjawab, “Allah yang telah mematikannya” Mereka berkata, “Kambing yang telah Allah sembelih (maksudnya bangkai) dengan tanganNya Yang Mulia kalian haramkan, sedangkan yang kalian sembelih dengan tangan-tangan kalian, kalian katakan halal, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah” [Hadis riwayat Hakim]
Ucapan tersebut adalah wahyu syaitan untuk mendebat kaum muslimin agar setuju dengan aturan yang menyalahi aturan Allah, dan agar setuju dengan penyandaran hukum kepada mereka, maka Allah tegaskan, bahawa apabila mereka (kaum muslimin) setuju dengan hal itu bererti mereka telah musyrik.
Dan dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
“Mereka (orang-orang Nasrani) telah menjadikan para Harb (ahli ilmu/ulama) dan para Rahib (ahli ibadah) sebagai Arbaab (tuhan-tuhan) selain Allah. Juga Al Masih putera Maryam, padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan Yang Haq kecuali Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (At Taubah : 31)
Dalam ayat ini Allah menghukum orang-orang Nasrani sebagai berikut:
- Mereka telah mempertuhankan para ahli ilmu dan para rahib
- Mereka telah beribadah kepada selain Allah
- Mereka telah musyrik
Juga para ahli ilmu dan para rahib tersebut Allah menghukum mereka sebagai arbab.
Di dalam atsar yang hasan dari ‘Adiy Ibnu Hatim (dia asalnya Nasrani kemudian masuk Islam) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam membacakan ayat itu dihadapan ‘Adiy Ibnu Hatim, maka dia berkata: “Wahai Rasulullah, kami dahulu tidak pernah ibadah dan sujud kepada mereka (ahli ilmu dan para rahib)” maka Rasulullah berkata, “Bukankah mereka itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan kalian ikut-ikutan menghalalkannya? Bukankah mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan lalu kalian ikut-ikutan mengharamkannya?” lalu ‘Adiy Ibnu Hatim berkata, “Ya, betul” lalu Rasulullah berkata lagi, “Itulah bentuk peribadatan orang-orang Nasrani kepada mereka itu” [Hadis riwayat Tirmidzi]
Jadi orang Nasrani dihukum musyrik karena mereka setuju dengan penyandaran hukum kepada ahli ilmu dan para rahib, meskipun itu bertentangan dengan aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Sedangkan pada masa sekarang, orang meyakini bahawa undang-undang sekular ciptaan manusia adalah pilihan terbaik untuk mereka berbanding undang-undang Allah. Padahal undang-undang manusia boleh menjadikan mereka ini jatuh syirik, maka orang tersebut tidak kufur terhadap thaghut dan dia itu belum benar muslim. Allah Ta’ala berfirman berkaitan dengan semua peribadatan di atas:
“Itu disebabkan sesungguhnya Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq, dan sesungguhnya apa yang mereka seru selain Dia adalah bathil…” (Luqman : 30)
Juga firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“Itu disebabkan sesungguhnya Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq dan sesungguhnya apa yang mereka seru selainNya adalah yang bathil…” (Al Hajj : 62)
2. Engkau meninggalkannya
Meyakini perbuatan syirik itu adalah bathil belumlah cukup, namun harus disertai. dengan meninggalkan perbuatan syirik itu. Orang yang meyakini pembuatan korban itu bathil, akan tetapi kerana takut akan dipinggirkan masyarakatnya lalu ia melakukan hal tersebut, maka dia tidak kufur terhadap thaghut.
Sesungguhnya kufur terhadap thaghut menuntut seseorang untuk meninggalkan dan berlepas diri dari kemusyrikan tersebut. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati” (Az Zukhruf : 26)
Juga firman-Nya Ta’ala tentang Ibrahim ‘alaihissalam:
“Dan saya tinggalkan kalian dan apa yang kalian seru selain Allah” (Maryam : 48)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi akan laa ilaaha ilallaah…” (Muttafaq ‘alaih)
Sedangkan orang yang tidak meninggalkan syirik, maka dia itu tidak dianggap syahadatnya, karena yang dia lakukan bertentangan dengan apa yang dia ucapkan, oleh sebab itu Syeikh Muhammad Ibnu Abdul Wahab rahimahullah berkata: “Dan siapa yang bersyahadat laa ilaaha ilallaah, namun disamping ibadah kepada Allah, dia beribadah kepada yang lain juga, maka syahadatnya tidak dianggap, meskipun dia solat, puasa, zakat dan melakukan amalan Islam lainnya” [Ad Durar As Saniyyah: 1/323, Minhajut Ta’sis: 61].
Syeikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata: “Ulama’ berijmak, baik ulama’ salaf maupun khalaf dari kalangan para shahabat dan tabi’in, para imam dan semua Ahlus Sunnah bahawa seseorang tidak dianggap muslim kecuali dengan cara mengosongkan diri dari syirik akbar dan melepaskan diri darinya” [Ad Durar As Saniyyah: 2/545]. Beliau juga berkata: “Siapa yang berbuat syirik, maka dia telah meninggalkan Tauhid” [Syarah Ashli Dienil Islam, Majmu’ah Tauhid].
Orang berbuat syirik, dia tidak merealisasikan firman-Nya:
“Dan mereka itu tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah serta memurnikan seluruh ketaatan kepadaNya” (Al Bayyinah : 5).
Orang yang melakukan syirik akbar meskipun tujuannya baik maka dia tetap belum kufur terhadap thaghut.
Al Imam Su’ud Abdil Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Su’ud rahimahullah berkata: “Orang yang memalingkan sedikit dari (ibadah) itu kepada selain Allah, maka dia itu musyrik, sama sahaja dia itu ahli ibadah atau orang fasik, dan sama sahaja maksudnya itu baik atau buruk” [Durar As Saniyyah: 9/270].
Syeikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Muhammad rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya pelafalan laa ilaaha ilallaah tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan tuntutannya berupa komitmen terhadap tauhid, meninggalkan syirik, dan kufur kepada thaghut maka sesungguhnya hal itu (syahadat) tidak bermanfaat, atas ijmak (para ulama)” [Kitab Taisir]
Syaikh Hamd Ibnu Athiq rahimahullah berkata: “Para ulama ijmak, bahawa sesiapa yang memalingkan sesuatu dari dua macam do’a kepada selain Allah, maka dia telah musyrik meskipun dia mengucapkan Laa ilaaha ilallaah Muhammadur Rasulullah, dia solat, puasa dan mengaku muslim” [Ibthal At Tandid: 76].
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Orang tidak disebut muwahhid kecuali dengan cara menafikan syirik dan bara’ah darinya”
Jadi, orang yang tidak meninggalkan syirik, dia tidak kufur terhadap thaghut.
3. Engkau Membencinya
Orang yang meninggalkan perbuatan syirik akan tetapi dia tidak membencinya, maka dia belum kufur terhadap thaghut. Ini disebabkan Allah mensyaratkan adanya kebencian terhadap syirik dalam merealisasikan tauhid kepadaNya. Allah Ta’ala berfirman tentang Ibrahim ‘alayhissalam.:
“Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati” (Az Zukhruf : 26)
Kata bara’ (berlepas diri) dari syirik itu menuntut adanya kebencian akan adanya syirik itu. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ikatan iman yang paling kukuh adalah cinta kerana Allah dan benci kerana Allah”
Kebencian terhadap syirik ini harus berbentuk realiti (ada tindakan nyata), iaitu dengan tidak hadir di majlis syirik saat syirik sedang berlangsung. Sebagai contoh: orang yang hadir di tempat membuat atau mengubur korban yang sedang dilakukan, maka dia itu sama dengan pelakunya. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan sungguh Dia telah menurunkan kepada kalian dalam Al Kitab, iaitu bila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok, maka janganlah kalian duduk bersama mereka sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain, kerana sesungguhnya kalian (bila duduk bersama mereka saat hal itu dilakukan), bererti sama (status) kalian dengan mereka” (An Nisa : 140)
Jadi orang yang duduk dalam majlis di mana kemusyrikan atau kekufuran sedang berlangsung atau sedang dilakukan atau dilontarkan (diucapkan) dan dia duduk tanpa dipaksa dan tanpa mengingkari hal tersebut maka dia sama kafir dan musyrik seperti para pelaku kemusyrikan tersebut.
Seandainya tidak dapat mengingkari dengan lisannya, maka hal tersebut harus diingkari dengan hatinya yang berbentuk sikap meninggalkan majlis tersebut. Sungguh sebuah kesalahan fatal orang yang mengatakan: “Saya ingkar dan benci di hati saja” sedangkan dia tidak pergi meninggalkan majlis tersebut.
Oleh kerananya para sahabat pada masa khalifah Utsman radliyallahu ‘anhu berijmak atas kafirnya seluruh jema’ah masjid di kota Kuffah saat salah seorang di antara mereka mengatakan: “Saya menilai apa yang dikatakan Musailamah itu boleh jadi benar” dan yang lain hadir di masjid itu tanpa mengingkari ucapannya seraya pergi darinya”. [Riwayat para penyusun As Sunan / Ashhabus Sunan]
Orang yang tidak membenci ajaran syirik, agama kuffar, sistem kafir, dan thaghut bererti dia tidak kufur terhadap thaghut dan belum benar Muslim.
4. Engkau Mengkafirkan Pelakunya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkafirkan para pelaku syirik akbar dalam banyak ayat, di antaranya:
“…Dan orang-orang yang menjadikan sembahan-sembahan selain Allah, (mereka mengatakan): “Kami tidak beribadah kepada mereka, melainkan supaya mereka itu mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah memutuskan di antara mereka di hari kiamat dalam apa yang telah mereka perselisihkan, sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang yang dusta lagi sangat kafir”. (Az Zumar : 3)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“Dan siapa yang menyeru ilaah yang lain bersama Allah yang tidak ada bukti dalil kuat buat itu baginya, maka perhitungannya hanyalah disisi Rabnya, sesungguhnya tidak beruntung orang-orang kafir itu” (Al Mukminun : 117)
Bila Allah mengkafirkan para pelaku syirik, maka orang yang tidak mengkafirkan mereka bererti tidak membenarkan Allah. Dia Subhanahu Wa Ta’ala juga telah memerintahkan untuk mengkafirkan para pelaku syirik, di antaranya adalah firman-Nya:
“…Dan dia menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah supaya dia menyesatkan dari jalanNya, katakanlah, “Nikmatilah kekafiranmu sebentar, sesungguhnya kamu tergolong penghuni neraka” (Surah Az Zumar : 39 )
Dan orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik, bererti dia menolak perintah Allah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam besabda: “Siapa yang mengucapkan Laa ilaaha ilallaah dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, sedangkan perhitungannya adalah atas Allah” (Hadis riwayat Muslim)
Para imam dakwah Najdiyyah telah menjelaskan maksud sabda nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, “dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah” maksud kalimat tersebut adalah: Mengkafirkan pelaku syirik dan berlepas diri dari mereka dan dari apa yang mereka ibadati [Durar As Saniyyah: 291]
Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar adalah orang yang tidak kufur kepada thaghut:
Syeikh Muhammad Ibnu Abdul Wahab rahimahullah berkata: “Orang yang tidak mengkafirkan para pelaku syirik atau ragu akan kekafiran mereka atau membenarkan ajaran mereka, maka dia telah kafir” [Risalah Nawaqidlul Islam]
Syeikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Seseorang tidak menjadi muwahhid, kecuali dengan menafikan syirik, berlepas diri darinya dan mengkafirkan pelakunya” [Syarah Ashli Dienil Islam - Majmu’ah Tauhid]
Syeikh Abdul Lathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Dan sebahagian ulama memandang bahawa hal ini (mengkafirkan pelaku syirik) dan jihad diatasnya adalah salah satu rukun yang mana Islam tidak tegak tanpanya” (Mishbahuzh Zhalam: 28). Beliau berkata lagi: “Adapun meninggalkan jihad dan tidak mengkafirkan orang-orang murtad, orang yang menjadikan andaad (tandingan-tandingan) bagi Tuhannya, dan orang yang mengangkat andaad dan arbaab (tuhan-tuhan) bersamaNya, maka sikap seperti ini hanyalah ditempuh oleh orang yang tidak beriman kepada Allah dan RasulNya. Orang yang tidak mengagungkan perintahNya, tidak meniti jalanNya dan tidak mengagungkan Allah dan Rasul-Nya dengan pengagungan yang sebenar-benarnya pengagungan terhadapNya, bahkan dia itu tidak menghargai kedudukan ulama dan para imam umat ini dengan selayaknya” [Mishbahuzh Zhalam: 29]
Para imam dakwah Najdd berkata: “Di antara hal yang mengharuskan pelakunya diperangi adalah sikap tidak mengkafirkan pelaku-pelaku syirik atau ragu akan kekafiran mereka kerana sesungguhnya hal itu termasuk pembatal dan penggugur keIslaman. Siapa yang memiliki sifat ini maka dia telah kafir, halal darah dan hartanya serta wajib diperangi sehingga dia mengkafirkan para pelaku syirik” [Durar As Saniyyah: 9/291]
Mereka juga mengatakan: “Sesungguhnya orang yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, dia itu tidak membenarkan Al Qur’an, kerana sesungguhnnya Al Qur’an telah mengkafirkan para pelaku syirik dan memerintahkan untuk mengkafirkan mereka, memusuhi mereka dan memerangi mereka” [Ad Durar As Saniyyah: 9/291]
Jadi, takfir (mengkafirkan) para pelaku syirik adalah bahagian Tauhid dan pondasi deen ini, bukan fitnah sebagaimana yang diakui oleh musuh-musuh Allah dari kalangan ulama suu’ (ulama jahat) kaki tangan thaghut dan kalangan neo murji’ah. Orang mengkafirkan pelaku syirik bukanlah Khawarij, justeru mereka itu adalah penerus dakwah rasul-rasul. Orang yang menuduh mereka sebagai Khawarij adalah orang yang tidak faham akan dakwah para rasul.
Syeikh Abdul Lathif Ibnu Abdirrahman rahimahullah berkata: “Siapa yang menjadikan pengkafiran dengan syirik akbar termasuk ‘aqidah Khawarij, maka sungguh dia telah mencela semua rasul dan umat ini. Dia tidak bisa membezakan antara Deen para rasul dengan mazhab Khawarij, dia telah mencampakkan nas-nas Al Qur’an dan dia mengikuti selain jalan kaum muslimin” [Mishbahuzh zhalam: 72]
Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar secara nau’ (jenis pelaku) maka dia kafir, sedangkan orang yang membezakan antara nau’ dengan mu’ayyan (orang tertentu) maka minima jatuh dalam bid’ah dan bila (sudah) ditegakkan hujjah atasnya, maka dia kafir juga.
Orang yang tidak mahu mengkafirkan para pelaku syirik, pada umumnya dia lebih taat kepada pelaku syirik dan justeru memusuhi para muwahhid yang mengkafirkan pelaku syirik. Demikianlah realiti yang terjadi, sehingga banyak yang jatuh dalam kekafiran. Tidaklah sah solat dibelakang orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik secara mu’ayyan (tertentu).
Syeikh Muhammad Ibnu Abdul Wahab rahimahullah berkata: “Siapa yang membela-bela mereka (para thaghut dan pelaku syirik akbar) atau mengingkari terhadap orang yang mengkafirkan mereka, atau mengclaim bahwa: ‘perbuatan mereka itu meskipun bathil, tetapi tidak mengeluarkan mereka pada kekafiran’, maka status minima orang yang membela-bela ini adalah fasiq, tidak diterima tulisannya, tidak pula kesaksiannya, serta tidak boleh solat bermakmum di belakangnya” [Ad Durar As Saniyyah: 10/53]
Ini adalah status minima, adapun kebanyakannya berstatus sebagaimana yang digambarkan Syeikh Muhammad Ibnu Abdul Wahab rahimahullah: “Orang-orang yang merasa keberatan dengan masalah takfir, bila engkau mengamati mereka ternyata kaum muwahhidin adalah musuh mereka, mereka benci dan dongkol kepada para muwahhid itu. Sedangkan para pelaku syirik dan munafiqin adalah teman mereka yang mana mereka bercengkerama dengannya. Akan tetapi hal seperti ini telah menimpa orang-orang yang pernah bersama kami di Dir’iyah dan Uyainah yang mana mereka murtad dan benci akan deen ini” [Ad Durar As Saniyyah: 10/92]
5. Engkau Memusuhi Mereka
Orang yang tidak memusuhi pelaku syirik bukanlah orang yang kufur kepada thaghut, Allah berfirman tentang ajaran Ibrahim ‘alayhissalam. Dan para nabi yang bersamanya:
“Dan nampak antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian selamanya hingga kalian beriman kepada Allah sahaja” (Al Mumtahanah : 4)
Dan firman-Nya Ta’ala:
“Kalian tidak mungkin mendapatkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan RasulNya, meskipun mereka itu ayah-ayahnya, anak-anaknya, saudara-saudaranya atau kaum kerabatnya” (Al Mujaadalah : 22)
Syeikh Muhammad rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya orang tidak tegak keIslamannya walaupun ia mentauhidkan Allah dan meninggalkan kemusyrikan kecuali dengan memusuhi para pelaku syirik” [Syarh Sittati Mawadli Minas Sirah, Majmu At Tauhid: 21]
Permusuhan lainnya adalah wala kepada orang kafir. Menafikan (meniadakan) keimanan/tauhid, Allah Ta’ala berfirman:
“Dan siapa yang berloyalitas kepada mereka (orang-orang kafir) di antara kalian, maka sesungguhnya dia adalah bagian dari mereka” ( Al Maaidah : 51)
Kerana permusuhan ini Allah Ta’ala berfirman:
“Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di manapun kalian mendapati mereka, tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah mereka ditempat pengintaian” (At Taubah : 5)
Semua ini adalah cara kufur kepada thaghut…
1 comment:
Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu
Post a Comment