Wednesday, April 05, 2006

Aqidah Ahlul Sunnah Perihal Turunnya Nabi Isa

Diangkatnya Nabi Isa عليه السلام dan akan turunnya beliau di akhir zaman merupakan aqidah para sahabat, para tabi’in, para ulama serta para imam Ahlus Sunnah sepanjang zaman.

Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Telah mutawatir hadits-hadits dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم bahwa Nabi Isa عليه السلام akan turun sebelum hari kiamat sebagai imam yang adil dan hakim yang bijaksana (Tafsir Ibnu Katsier, juz 7 hal. 223).

Berkata Shiddiq Hasan Khan: “Hadits-hadits tentang turunnya Isa عليه السلام sangat banyak. Telah disebutkan oleh Imam Asy-Syaukani, di antaranya ada 29 hadits antara sahih, hasan dan hadith lemah yang terdukung. Di antaranya ada yang disebut bersama kisah Dajjal, ada pula yang disebut bersama hadits-hadits tentang Imam Mahdi, ditambah lagi atsar-atsar yang diriwayatkan oleh para shahabat yang tentunya memiliki hukum marfu’ (sampai kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم), karena perkara Dajjal bukanlah masalah ijtihad”. Kemudian beliau menyebutkan semua hadits tentang Dajjal. Setelah itu beliau رحمه الله berkata: “Seluruh apa yang kami nukilkan ini telah mencapai derajat mutawatir sebagaimana dipahami oleh orang-orang yang memiliki ilmu” (Al-Idza’ah, hal. 160, melalui nukilan Yusuf al-Waabil dalam Asyratu as-Sa’ah)

Telah ditulis oleh para ulama hadits tentang Isa عليه السلام, ternyata didapati dari 25 para sahabat dinukil dari mereka oleh 30 tabien dan dinukil dari tabi’in oleh atba’ut tabi’in lebih banyak lagi. Berkata Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq al‘Adhim Abadiy: “Telah mutawatir berita-berita dari Nabi صلى الله عليه وسلم tentang turunnya Isa عليه السلام dari langit dengan jasadnya ke bumi ketika telah dekat hari kiamat. Ini merupakan mazhab ahlus sunnah. (Aunul Ma’bud, 11/457).

Berkata Syaikh Ahmad Syakir رحمه الله: “Turunnya Isa عليه السلام di akhir zaman adalah perkara yang tidak diperselisihkan sedikit pun oleh kaum muslimin, kerana tersebutnya berita-berita yang shahih dari Nabi صلى الله عليه وسلم tentangnya. Ini perkara yang sudah dimaklumi dalam agama secara aksiomatis, dan tidak beriman orang yang mengingkarinya. (Footnote Tafsir ath-Thabari dengan tahqiq Mahmud Syakir, cet. Daarul Ma’arif, Mesir, juz 6 hal. 460).

Berkata Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani رحمه الله: “Ketahuilah bahwa hadits-hadits tentang Dajjal, dan turunnya Isa عليه السلام adalah berita-berita yang mutawatir, maka kita wajib beriman dengannya. Jangan tertipu dengan orang-orang yang menyatakan hadits-hadits tersebut adalah hadits ahad, karena mereka adalah orang-orang yang bodoh tentang ilmu ini. Tidak ada di antara mereka yang menelusuri dan meneliti hadits-hadits tersebut dengan jalan-jalannya. Kalau saja ada yang mahu menelitinya, nescaya dia akan mendapati hadits-hadits tentang ini mutawatir, sebagaimana telah dipersaksikan oleh para ulama seperti Ibnu Hajar dan lain-lainnya.

Sungguh sangat disayangkan munculnya orang-orang yang lancang, terlalu berani berbicara pada perkara-perkara yang bukan pada bidangnya. Apalagi urusannya adalah urusan aqidah dan agama. (Takhrij Syaikh al-Albani terhadap Syarh Aqidah ath-Thahawiyah oleh Ibnu Abil Izzi al-Hanafi, hal. 501)

Para ulama memasukkan masalah turunnya Isa عليه السلام dalam kitab-kitab aqidah dan prinsip-prinsip sunnah yang mereka susun seperti Abu Ja’far ath-Thahawi رحمه الله dalam Aqidah ath-Thahawiyah, Abu Bakar Muhammad bin Husein al-Aajurri رحمه الله dalam asy-Syari’ah dan Imam Ahmad رحمه الله dalam ushuulus Sunnahnya.

Berkata Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wad’iy رحمه الله (ahlul hadits dari negeri Yaman): “Hadits-hadits tentang turunnya Isa عليه السلام dan keluarnya Dajjal menurut para ulama adalah mutawatir.(Ruduud Ahlul Ilmi, Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wad’i, hal. 25)

Berkata Qadli ‘Iyad رحمه الله: “Turunnya Isa عليه السلام dan dibunuhnya Dajjal olehnya adalah haq dan sahih menurut para ulama ahlus sunnah, karena hadits-hadits yang sahih dalam masalah ini. Dan tidak ada sesuatu pun yang dapat diengkari dalam syari’at maupun dalam akal yang sihat. Maka Wajib menetapkannya. (Lihat Syarh Shahih Muslim oleh Imam Nawawi, jilid 18, hal. 75)


Bantahan terhadap para pengingkar Turunnya Nabi Isa as dengan alasan bahawa Rasulullah صلى الله عليه وسلم adalah penutup para nabi.

Berkata Imam Nawawi رحمه الله: “Perkara ini telah diingkari oleh sebagian mu’tazilah, aliran Jahmiyah dan orang-orang yang mencocoki mereka dengan menganggap bahwa hadits-hadits ini tertolak dengan ayat Allah سبحانه وتعالى:

...وَخَاتَمَ النَّبِيِّيْنَ.
"Dan dia adalah penutup para nabi" (al-Ahzaab: 40.)
Dan dengan ucapan Nabi
صلى الله عليه وسلم:
لاَ نَبِيَّ بَعْدِي
Tidak ada nabi setelahku. (HR. Muslim)

Dan dengan ijma’ kaum muslimin bahawa tidak ada nabi setelah nabi kita Muhammad
صلى الله عليه وسلم. Dan bahwasanya syariat Islam ini kekal sampai hari kiamat dan tidak dimansuhkan (tidak dibatalkan).

Ini adalah hujah yang tidak tepat dan yang rosak, karena tidaklah yang dimaksud dengan turunnya Isa عليه السلام adalah turun sebagai Rasul yang membawa syariat yang baru, yang membatalkan syariat kita. Tidak ada dalam hadits-hadits ini mahupun yang lainnya dalil yang menunjukkan hal tersebut. Bahkan telah shahih hadits-hadits tersebut dan dalam Kitabul Iman dan lain-lainnya bahawa Nabi Isa عليه السلام turun sebagai hakim yang adil dengan hukum syariat kita. Dan menghidupkan perkara-perkara syariat-syariat kita yang sudah mulai ditinggalkan oleh manusia. (Syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi, juz 18, hal. 278)

Imam adz-Dzahabi رحمه الله memasukkan Isa عليه السلام dalam kitabnya Tajridu As-mai ash-Shahabah (tentang nama-nama shahabat Nabi صلى الله عليه وسلم), kemudian beliau berkata: “Isa عليه السلام adalah seorang sahabat dan sekaligus seorang nabi. Karena dia sempat bertemu dan melihat Nabi صلى الله عليه وسلم pada malam Isra’ dan Mi’raj. Maka beliau adalah sahabat Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang paling terakhir wafatnya. (Tajridu Asmai ash-Shahabah Hal. 432; melalui nukilan Yusuf al-Waabil dalam Asyrathu as-Sa’ah, hal. 356)

Berkata Imam al-Qurthubi رحمه الله: “Suatu kaum berpendapat bahwa dengan turunnya Isa عليه السلام berarti akan terangkat beban syariat (nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم –pen.), kerana Isa عليه السلام turun sebagai Rasul yang terakhir di zaman tersebut, memerintahkan mereka dengan wahyu dari Allah. maka tentunya yang ini adalah batil dan tertolak karena Allah سبحانه وتعالى menyatakan bahwa Rasulullah adalah penutup para nabi (dalam Q.S. al-Ahzaab ayat 40). Dan juga terbantah dengan hadits: “Tidak ada nabi setelahku” (Shahih Muslim) dan hadits: “Saya adalah penutup” (Shahih Bukhari). Yang dimaksud adalah beliau صلى الله عليه وسلم adalah nabi terakhir dan penutupnya".

Oleh karena itu jangan dianggap bahwa Isa عليه السلام turun sebagai rasul dengan syariat yang baru selain syariat Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Bahkan beliau turun sebagai pengikut Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم sebagaimana dikabarkan dalam hadits, ketika Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda kepada Umar رضي الله عنه:

لَو كَانَ مُوْسَ حَيًّا مَ وَسِعَهُ إِلاَّ اتِّبَاعِيْ."

Jika saja Musa masih hidup, nescaya tidak ada pilihan lain baginya kecuali mengikutiku.

Maka turunnya Isa عليه السلام dalam keadaan telah mengetahui perintah Allah سبحانه وتعالى sejak di langit sebelum turunnya. Yaitu mengetahui ilmu syariat ini untuk menghukumi di antara manusia dan beramal bagi dirinya. Maka berkumpullah orang-orang beriman mengikutinya dan dia menghukumi mereka dengan syariat Islam. (at-Tadzkirah, hal. 67-68, melalui nukilan Yusuf al-Waabil dalam Asyrathu as-Sa’ah, hal. 360-361).

Bantahan bagi para pengengkar dengan alasan ayat Allah dalam surat Ali Imran ayat 55: Inni Mutawaffiika

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله: “Adapun ucapan Allah سبحانه وتعالى yang menyatakan:

إِذْ قَالَ اللَّهُ يَاعِيسَى إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا
.. [ال عمران: 55]

Ketika Allah berfirman kepada Isa: “Aku me”’wafat”kanmu dan mengangkatmu kepada-Ku serta mensucikanmu dari orang-orang kafir…(Ali Imran: 55)

bukanlah berarti mematikan Isa عليه السلام , kerana kalau yang dimaksudkan adalah kematian, maka berarti Isa sama dengan orang-orang mukmin lainnya, yakni dicabutnya ruh mereka dan dibawanya ke langit. Hal ini berarti Nabi Isa tidak memiliki keistimewaan apapun. Demikian pula ucapan Allah “wa muthahiruka minaladziina kafaru”, kalau ruhnya terpisah dari jasadnya berarti jasadnya tetap di bumi seperti badannya para nabi yang lain…. (Majmu’ Fatawa, juz IV hal. 322-323)

Berarti jasadnya tetap disalib dan dihinakan oleh orang-orang kafir, yang tentunya bererti tidak disucikan dari orang-orang kafir dan ini adalah mustahil. Kerana Allah dalam ayat di atas menyatakan “Dan Aku mensucikanmu dari orang-orang kafir”.

Bahkan kalimat wafat dalam bahasa Arab memiliki beberapa makna, kerana diambil dari kata-kata qaabiduka yang bermakna menggenggam atau mengambil. Maka bisa bermakna mengambil ruh dan jasadnya (seperti Isa عليه السلام), atau mengambil ruh tanpa jasadnya (yaitu kematian) atau mengambil kesadarannya dalam keadaan ruh dan jasadnya masih di tempatnya (yakni ketika tidur) sebagaimana Allah pergunakan kalimat wafat dalam ayat-ayat berikut:

اللَّهُ يَتَوَفَّى اْلأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَاوَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا...
[الزمر: 42]

Allah memegang jiwa (orang) ketika m atinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya …(az-Zu-mar: 42)

وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُمْ بِاللَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُمْ بِالنَّهَارِ
(الأنعام: 60)

... Dan Dialah yang “menidurkan”mu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari… (al-An’aam: 60)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله selanjutnya: “…Oleh karena itu berkata para ulama bahwa makna mutawaffiika adalah qaabidluka (mengambil kamu), yakni mengambil ruh dan jasadmu. Tidak mesti lafadz tuwaffa bermakna mengambil ruh saja tanpa jasad. Tidak mesti pula jasad dengan ruh bersama-sama. Keduanya harus dipahami sesuai dengan konteks kalimatnya. (Majmu’ Fatawa, juz IV hal. 323)

Kita katakan: bahwa konteks kalimat dalam ayat tentang Isa عليه السلام di atas sangat jelas. Karena Allah سبحانه وتعالى menyebut seiring dengan kalimat wafat kalimat raafi’uka yang bermakna mengangkatmu.

Ibnu Jarir ath-Thabari menafsirkan makna wafat dalam ayat di atas sebagai berikut: “Yang lebih utama dari pendapat-pendapat ini untuk dikatakan shahih menurut kami adalah ucapan yang berkata bahwa makna mutawaffiika adalah “Aku memegangmu dan mengangkatmu (ruh dan jasadnya) kepada-Ku”, karena mutawatirnya hadits-hadits dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang memberitakan bahwa Isa akan turun dan membunuh Dajjal. (Tafsir ath-Thabari, juz 3, hal. 291)

........................
(Dikutip dari bulletin Manhaj Salaf, Edisi 71/Th. II tgl 15 Jumadi tsani 1426 H/22 J u l i 2005 M, judul asli Aqidah Para Ulama tentang turunnya Nabi Isa 'alaihissalam, penulis asli Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed).

p/s : Ustaz emran meminta maaf tidak dapat menulis apa-apa artikel terkini kerana USB drive beliau hilang dan tidak dapat memindahkan banyak tulisan-tulisan beliau dari komputer beliau kepada web ini tetapi insyaAllah akan diganti yang baru dalam proses.

No comments: